Jakarta (30/09) — Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengusulkan agar pembentuk undang-undang, baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, untuk merevisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan ketentuan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden 20% kursi DPR, sebagai konsekuensi positif dari adanya putusan terakhir Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review yang dimohonkan oleh PKS dan Dr. Salim.
“Memang MK memutuskan menolak permohonan uji materi PT 20% yang diajukan oleh PKS dan Dr. Salim, tetapi walaupun, amar putusannya ‘menolak’, di dalam amar pertimbangannya, secara tersirat MK menyatakan bahwa penentuan angka PT memang perlu berbasis kajian ilmiah sebagaimana yang digagas oleh pemohon, yaitu PKS dan Dr. Salim,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (29/09/2022).
HNW sapaan akrabnya menyampaikan hal tersebut setelah mencermati pertimbangan putusan MK yang menyatakan mengapresiasi apapun bentuk kajian ilmiah yang digunakan oleh pembentuk undang-undang. Dan dalam permohonannya, Para Pemohon (PKS dan Dr. Salim) mencontohkan kajian ilmiah dengan merujuk kepada teori Effective Number of Parliamentary Parties.
“Keputusan MK yg terakhir ini, sekalipun mengecewakan karena tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan judicial review yang rasional, konstitusional, solutif dan berbasiskan legal standing yg jelas legal, tetapi ada ‘kemajuan’, yang seharusnya bisa menjadi bekal bagi pembentuk undang-undang soal Pemilu, untuk memperbaiki UU Pemilu sesuai spirit keputusan terakhir MK, yaitu mengkoreksi terkait PT 20% berdasarkan kajian ilmiah,” ujarnya.
HNW menilai angka PT 20 % tersebut tidak rasional dan tidak berbasiskan kajian akademik yang memadai, dan terbukti ditolak oleh banyak pihak karena menghambat hak konstitusional Rakyat untuk mendapatkan alternatif calon-calon Presiden terbaik, dan membonsai hak Partai dan banyak tokoh bangsa yang potensial untuk dimajukan oleh Partai Politik ke gelanggang Pilpres.
“Sehingga, Rakyat pemilik kedaulatan tidak mempunyai banyak alternatif karena masyarakat hanya disodorkan calon yang sangat terbatas. Apalagi PT 20% itu telah 2 kali dipraktekkan dan menghadirkan pembelahan di tengah Rakyat dan penolakan yang luas dari Masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, HNW mengakui memang UUD NRI 1945 yang merupakan norma dasar bangsa Indonesia tidak memberikan kebebasan sepenuhnya dengan menyebut aturan lanjutan dalam UU. Dan UU membuat pembatasan yang sudah berlaku tapi tidak menimbulkan penolakan.
“Dan memang UU ada melakukan pembatasan, misalnya adanya ketentuan parliamentary threshold serta syarat Partai bisa ikut Pemilu. Bahkan untuk Pemilihan Presiden tahun 2004 dan 2009 juga ada PT tapi hanya 15%. Itu semua sudah berlaku dan tidak mendapatkan penolakan dari publik. Karena pembatasannya rasional dan tidak ekstrim. Tapi pembatasan yang mendapatkan penolakan dari masyarakat luas adalah PT 20%, karena tidak rasional, dan terbukti menimbulkan keterbelahan di masyarakat, dan membatasi secara ekstrim calon-calon pemimpin bangsa yang berkwalitas. Hal yang mestinya dikoreksi, dan tidak malah dilanggengkan,” tukasnya.
HNW khawatir apabila pembatasan angka threshold terlalu ekstrim justru mengurangi prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.
“Sekalipun di sisi lainnya partai politik juga perlu menyadari tidak bebas sepenuhnya, tetapi ada aturan yang membatasi. Namun, pembatasan tersebut harusnya proporsional dan tidak ekstrim seperti PT 20%. Ini yang harusnya menjadi rujukan bagi DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Pemilu, apalagi dengan adanya semangat baru yang dihadirkan oleh putusan MK yang terakhir itu,” tukasnya.
Oleh karena itu, HNW mengingatkan agar DPR dan Pemerintah dalam rangka merevisi UU Pemilu pada waktu yang akan datang, juga perlu lebih intensif memperhatikan masukan-masukan dari masyarakat terkait dengan angka PT 20% itu.
“Karena faktanya ada 67 pihak yang mendaftar sebagai pihak terkait dari permohonan uji materi di MK itu, walaupun disayangkan MK tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan pandangan hukum, tapi itu sudah cukup membuktikan antusiasime masyarakat untuk mendiskusikan dan mengkoreksi PT 20%,” ujarnya.
“Jadi sebaiknya dalam pembahasan revisi UU Pemilu pasca keputusan MK yang terakhir, selain merujuk kepada kajian ilmiah, kanal partisipasi masyarakat perlu dibuka lebih luas oleh DPR dan Pemerintah, agar kedaulatan Rakyat bisa benar-benar dihadirkan, agar Pilpres bisa lebih bermutu baik dalam proses maupun hasilnya, agar demokrasi dengan Pemilu/pilpres, bisa dipercaya oleh Rakyat sebagai solusi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik ; demokratis, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sesuai ketentuan Konstitusi,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar