JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto meminta pemerintah, segera mengkonsolidasikan diri untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Menurut Mulyanto, sejak Badan Pelaksana Hulu Migas yang diatur dalam UU Migas dibatalkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012, maka praktis pelaksana kuasa pertambangan migas dijalankan oleh Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas yang bersifat sementara.
Namun, kata Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini, faktanya SKK Migas, lembaga yang bersifat sementara itu sudah berlangsung lebih dari delapan tahun. Hal tersebut, kata dia, waktu yang tidak pendek.
Menurutnya, seharusnya pemerintah sudah menyiapkan konsep kelembagaan pelaksana kuasa pertambangan migas ini dengan matang, sebagai tindak lanjut dari keputusan MK, sehingga pembangunan di sektor hulu migas benar-benar dapat dijalankan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kelembagaan yang sekarang, yakni SKK Migas, jelas tidak ideal, karena selain bersifat sementara, hanya berupa satuan kerja di dalam Kementerian ESDM serta hanya memiliki fungsi dalam pengaturan dan pengawasan. SKK Migas tidak memiliki fungsi pengelolaan dan pengusahaan," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/9/2020).
Dia mengatakan, PKS sendiri menginginkan kelembagaan pelaksana kuasa pertambangan migas atau BUMN-Khusus ini, sesuai amanat MK, dapat menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan, sebagaimana sekarang dilaksanakan SKK Migas juga ditambah fungsi pengelolaan dan pengusahaan sektor hulu migas.
Jadi lanjut dia, BUMN Khusus ini berfungsi sebagai regulator sekaligus doers (pelaksana) di sektor hulu migas. "Tujuannya, agar Pemerintah sebagai representasi dari Negara dan pemegang kuasa pertambangan migas, mengelola secara langsung sektor hulu migas ini demi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat," katanya.
Dia melanjutkan, kondisi sekarang ini, SKK Migas tidak memiliki fungsi pengelolaan secara langsung termasuk pengusahaan sektor migas. Akibatnya Negara tidak dapat mengoptimalkan pengelolaan sektor migas ini sebesar-besarnya demi kemakmuran masyarakat.
Misalnya negera mengeluarkan biaya tambahan untuk menjual bagian Pemerintah atas migas, dan lain-lain. "Dengan kelembagaan yang terbatas seperti sekarang ini, kita pesimis target lifting minyak 1 juta barel per hari dapat terwujud," ujar Mulyanto.
Mulyanto mengungkapkan BUMN-Khusus ini sebaiknya hanya khusus menangani sektor hulu migas tidak ke sektor hilir, karena di sektor hilir sudah ada BPH Migas sebagai regulator dan PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana (doers). "Pertamina sebagai BUMN yang juga bergerak di sektor hulu migas, tetap eksis dan mendapat previlege dalam usaha hulu migas tersebut," kata Mulyanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar